Selasa, 30 Januari 2018

IDENTITAS DAN JATI DIRI KABUPATEN DELI SERDANG DIPRASASTIKAN DALAM BENTUK MUSEUM MODERN DENGAN DESIGN ‘ITIK PULANG PETANG’ DI LUBUK PAKAM

Kabupaten Deli Serdang akan segera meresmikan museum baru di Lubuk Pakam, museum ini di design berdasarkan bentuk ‘Itik Pulang Petang’ yang merupakan salah satu ornamen seni khazanah Melayu. Didalam komplek museum tersebut dibangun pula beberapa fasilitas lain seperti kolam renang, amphi theater dan ruang serba guna, fasilitas ini diharapkan bisa mengakomodir banyak kegiatan kreatif bagi masyarakat Deli Serdang.
sumber-https://kebudayaan.kemdikbud.go.id
Gedung utama museum baru ini terdiri dari 4 lantai, masing masing lantai telah ditentukan peruntukannya, di lantai 2 dikhususkan untuk kesejarahan Kesultanan Serdang sebagai penghargaan pemerintah atas sejarah asal usul dan jati diri wilayah dan masyarakat kabupaten Deli Serdang.
Pembangunan museum ini bisa dinilai rampung namun masih terlihat beberapa kegiatan penyempurnaan demi kesiapan yang optimal saat diresmikan dalam waktu dekat.
sumber:https://kebudayaan.kemdikbud.go.id

Biaya pembangunan ini merupakan dana bantuan Tugas Pembantuan untuk Pembangunan Museum yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jendrla Kebudayaan pada tahun 2016.



Dengan hadirnya museum baru kabupaten Deli Serdang ini diharapkan mampu memberi akses informasi tentang sejarah kepada para pengunjung pada umumnya dan generasi muda pada khususnya, museum memiliki peran yang sangat penting bagi suatu daerah dalam pembentukan jati diri dan karakter bangsa pada masyarakatnya. (red//2018)

Berita terkait - 
https://gpswisataindonesia.info/2017/01/museum-kabupaten-deli-serdang-sumatera-utara/

Minggu, 28 Januari 2018

DESA PALUH SIBAJI AKAN MEMBANGUN KAWASAN PANTAI PUTERA SERDANG

Pada hari Jum’at tanggal 26 Januari 2018 sekretariat Kesultanan Serdang menerima kunjungan dari kepala desa Paluh Sibaji dan diterima oleh ketua yayasan Kesultanan Serdang Tengku Mira Sinar, kunjungan tersebut merupakan kordinasi sehubungan dengan dikeluarkannya surat dari Kepala Dinas Kehutanan provinsi Sumatera Utara tanggal 17 Januari 2018 tentang penjelasan status dan fungsi lahan seluas 12 Ha di wilayah kecamatan Pantai Labu kabupaten Deli Serdang.
Kepala Desa  Paluh Sibaji Abdul Hafiz bersama ketua LKMD M.Syahbandi serta ketua BPD Abdul Hamid menyampaikan rencana program jangka pendek pembangunan kawasan pantai Putera Serdang, program yang disusun oleh Badan Usaha Milik Desa - Jaya Bersama ini bertujuan merevitalisasi kawasan tersebut sehingga bisa menjadi salah satu destinasi wisata budaya dan alam, sehingga nantinya diharapkan bisa meningkatkan perekonomian masyarakat sekitarnya.
Kordinasi yang dilakukan ini bertujuan untuk lebih mempererat hubungan antara masyarakat dan Kesultanan Serdang yang dari dahulu hingga saat ini terjalin dengan kuat, tidak hanya dalam hubungan sejarah, adat istiadat serta budaya namun juga terhadap perkembangan ekonomi masyarakat.
Perkembangan pembangunan desa yang merupakan program pemerintah Republik Indonesia dalam usaha percepatan peningkatan ekonomi masyarakat disambut baik oleh Kesultanan Serdang dengan membantu memberikan kontribusi pemikiran yang positif demi kesejahteraan masyarakat sebesar besarnya, seiring dengan pembangunan yang tengah dicanangkan juga oleh pemerintah Kabupaten Deli Serdang maka setiap elemen masyarakat harus bahu membahu membantu program pemerintah ini, ujar Tengku Mira Sinar gelar Tengku Puteri Bongsu yang juga merupakan ketua dalam bidang pelestarian adat istiadat di Kesultanan Serdang.
foto;docKS

Dalam kesempatan tersebut, kepala desa Paluh Sibaji juga mengharapkan bantuan berbagai pihak termasuk Kesultanan Serdang untuk mensosialisaikan program pembangunan ini hingga bisa mendatangkan para stake holder dan investor yang sangat dibutuhkan.
Tengku Mira juga menekankan pentingnya memunculkan identitas dan jati diri budaya Melayu Serdang dikawasan itu, ini perlu dilakukan karena kekhasan tempatan memiliki daya tarik bagi wisatawan, kesultanan Serdang yang merupakan cikal bakal terbentuknya wilayah di kabupaten Deli Serdang dan kabupaten Serdang Bedagai telah menghasilkan banyak kearifan lokal yang memilki nilai adi luhung, nilai nilai inilah yang akan menjadi penjaga kelestarian alam dan budaya sekitar, pembangunan kawasan pantai Putera Serdang diharapkan bisa menghadirkan edukasi bagi pengunjung terutama generasi muda agar lebih mengenal budaya dan identitas masyarakat Melayu Serdang.
(red//2018)

Senin, 22 Januari 2018

DOKUMENTER SULTAN SULAIMAN TELAH SELESAI DIPRODUKSI

Pada bulan Oktober 2017 yang lalu,Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Sinar Budaya Grup telah memproduksi film dokumenter sejarah tentang salah satu tokoh pemimpin Serdang yaitu Tuanku Sulaiman Syaiful Alamsyah.

Film berdurasi 25 menit ini berjudul 'Biola Seribu Sultan Sulaiman dari Serdang', berkisah tentang kehidupan masa kecil Sultan Sulaiman  paska penyerangan kolonial Belanda di Kualanamu yang dikenal dengan Operatie Tegen Serdang en Asahan 1865.

Film ini dibintangi oleh Tengku Deva Rasya yang masih berusia 10 tahun, Tengku Azmi dan Tengku Omar Shadick Sinar, serta melibatkan lebih dari 30 orang pemeran pembantu, garapan penyutradaraan dipercayakan kepada Tengku Ryo, sinematografi oleh Yudi Suhairi serta audio dan musik digarap oleh arranger berbakat Dony Akson yang bekerjasama dengan Zhaurus Studio di Jakarta.

Pengambilan gambar dilakukan di Medan, Pantai Cermin, Kuala Lama, Kampung Besar serta Perbaungan, dalam kurun waktu lebih kurang satu bulan.
,
Penyerahan film kepada Kemendikbud telah dilakukan pada bulan Desember 2017, produksi film dokumenter sejarah ini merupakan sebuah program Direktorat Sejarah Kemendikbud yang dimaksudkan untuk mendokumentasikan sejarah tokoh tokoh daerah di Indonesia. Melalui penayangan film ini nantinya akan mampu memberikan informasi sejarah kepada para pelajar dan generasi yang akan datang untuk lebih mengenal tokoh yang telah berjasa di daerah masing masing.

Tengku Mira Sinar yang merupakan ketua Sanggar Sinar Budaya Grup sekaligus menjadi produser pada pembuatan film ini mengharapkan akan adanya kelanjutan program serupa, ini adalah sangat penting bagi generasi kita yang akan datang dan melalui film seperti ini bisa membentuk karakter bangsa, ujarnya saat tim redaksi berbincang di kediamannya di Jalan Abdullah Lubis 47 Medan.  (redaksi//2018)

Minggu, 21 Januari 2018

FILISOFI NEGERI SERDANG BERASAL DARI SEBUAH POHON

Pada tahun 1723 setelah terjadi konflik dalam tubuh kerabat Kesultanan Deli yang berakhir dengan diungsikannya putera mahkota kesebuah wilayah kuala yang tak bertuan dan tak berpenghuni. Wilayah Kuala merupakan dataran rendah dan berdekatan dengan selat Melaka, terdapat hamparan rawa rawa laut dan dataran yang banyak ditumbuhi sejenis pohon palem, pohon ini memiliki karakter yang unik dan kemudian oleh para datuk dan hulubalang dinamakan pohon Serdang, dan wilayah kuala itu kemudian di sebut Kuala Serdang. 



Pohon Serdang memiliki sifat yang kokoh, walaupun diterpa badai tetapi batangnya tidak akan condong walaupun daunnya rontok diterbangkan angin, pohon Serdang akan musnah hanya apabila tercerabut sekaligus dengan akarnya, daunnya yang berdasar bulat melambangkan keteduhan dan melindungi segala sesuatu yang berada dibawahnya, pohon Serdang juga mampu tumbuh tinggi menjulang hingga lebih dari 10 meter hingga seringkali dijadi tempat bertenggernya sejenis burung elang.

* Pohon Serdang pada awalnya bernama latin Livistona Rotundifolia, namun pada September 2011 sejak diresmikannya genus Saribus untuk pertama kali, nama ilmiahnya menjadi Saribus Rotundifolius

Sifat pohon Serdang ini kemudian menjadi dasar filosofi berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Kesultanan Serdang dan dinobatkanlah sang putera mahkota di negeri pengungsiannya itu menjadi Sultan Serdang I dengan gelar Tuanku Umar Djunjungan.

Filosofi Kesultanan Serdang adalah tetap kokoh dan teguh pada pendiriannya walaupun harus menghadapi berbagai masalah, pemerintahannya harus teduh melindungi rakyat dan alamnya, selalu berupaya mencapai ketinggian dalam ilmu pengetahuan, kemakmuran dan budi pekerti, tinggi menjulang dan tetap merunduk kebawah bagaikan pohon Serdang.

Filosofi ini kemudian menjadi semangat orang orang Serdang hingga saat ini, seiring proses sejarahnya para pemimpin di Serdang telah tercatat mampu membawa negeri Serdang berkembang menjadi negeri yang makmur, kaya akan hasil bumi dan laut, rakyatnya tidak pernah mengalami kelaparan dan terlepas dari kekejaman wajib kerja paksa atau romusha pada zaman penjajahan Jepang karena dilindungi oleh kebijakan pemimpinnya pada masa itu dan terlindungi oleh hasil bumi yang melimpah.

Kesultanan Serdang sejak didirikan tahun 1723 mampu membawa perubahan pada wilayah yang tak berpenghuni dan rawa rawa menjadi sebuah negeri yang makmur hingga kemudian ikut bergabung memperkuat ikatan Nusantara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1946, dan kemudian Serdang menjadi salah satu lumbung dan panji terkuat di wilayah Sumatera bagian timur.

Kini, wilayah Kesultanan Serdang berkembang menjadi dua kabupaten yang salah satunya menjadi kabupaten terbesar di provinsi Sumatera Utara yaitu kabupaten Deli Serdang dan kabupaten Serdang Bedagai. Kedua kabupaten ini merupakan mitra Kesultanan dalam usaha yang berkelanjutan untuk mengupayakan kesejahteraan rakyat diwilayahnya, membuka diri seluas luasnya dalam menyambut era ekonomi global.

LAHIRNYA KESULTANAN SERDANG - Bagian I



  Ketika Kerajaan purba yang bernama H A R U, yang meliputi wilayah dari Tamiang (sekarang masuk Kabupaten Aceh Timur) sampai Rokan (sekarang masuk Propinsi Riau), dihancurkan untuk penghabisan kalinya oleh Aceh (Sultan Iskandar Muda) di tahun 1612, didudukkanlah disana sebagai Wali Negara oleh Sultan Aceh, salah seorang Panglima perangnya bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan gelar Laksamana Kuda Bintan.
Tempat yang baru itu dinamakan “DELI” (Batu Jergok – Deli Tua sekarang). Tugasnya oleh Aceh yang dibebankan ialah :
(1) Menghempang pengaruh-pengaruh anti Aceh di wilayah ex-Haru itu (Portugis, Belanda, Johor, dll).
(2) Mengembangkan Agama Islam dikalangan penduduk-penduduk Batak di pedalaman.
Gocah Pahlawan kawin dengan NANG BALUAN, puteri dari Raja Urung Sunggal/Serbenyaman merga Surbakti, raja Karo yang terkuat disekitar Deli masa itu. Dengan Islamnya Kepala-kepala Urung asal Karo di Sunggal, Dua Belas Kuta/Hamparan Perak (merga Sembiring), Urung Sukapiring (merga Sembiring) dan Senembah (merga Baros), maka terbentuklah Konfederasi Deli dimana Gocah Pahlawan (wakil Aceh) sebagai Primus Inter Pares keluar sebagai “Anak Beru” dari Sunggal, Gocah Pahlawan memperoleh wilayah kecil dipantai Deli sampai Percut sekarang ini, sebagai hadiah kawin. Di zaman pemerintahan putera dari Gocah Pahlawan, bernama PANGLIMA PERUNGGIT, situasi politik di Aceh makin kacau. Aceh diperintah oleh Ratu-ratu (Raja-raja perempuan) yang menjadi boneka para Orang-orang Besar/Uleebalang, sehingga menjadi lemah. Ketika Kepala-kepala Negeri di pesisir Minangkabau atas hasutan Belanda melepaskan diri dari bertuan ke Aceh, maka didalam tahun 1699 Panglima Deli Perunggit juga memproklamirkan kemerdekaan Deli.
Ketika didalam masa pemerintahan Panglima Deli Paderap (Putera dari Perunggit) pada awal abad ke-18, Deli ditaklukkan oleh Imperius Melayu Riau-Johor, semasa Raja Kecil dari Siak (Sultan Abduljalil) merebut tahta Johor itu. Panglima Pederap meninggalkan 4 orang putera-putera yaitu :
(1) Tuanku Jalaluddin gelar Kejeruan Metar (turunan Mabar-Percut);
(2) Tuanku Gandar Wahid gelar Sutan Panglima (turunan raja-raja Deli);
(3) Tuanku Umar gelar Kejeruan Junjungan (turunan raja-raja Serdang);
(4) Tuanku Tawar gelar Kejeruan Santun (turunan bangsawan-bangsawan Denai dan serbajadi).
Ketika Panglima Paderap meninggal (± 1720), terjadilah perang saudara di Deli. Gandar wahid (putera no.2) dengan bantuan Siak meng-coup abangnya Jalaluddin dan merebut tahta Deli, padahal menurut adat Melayu yang berhak jadi raja di Deli ialah putera no.3, Tuanku Umar, karena ia putera gahara (permaisuri) dimana ibunya adalah Tuanku Puan Sampali. Dengan fraksi dan orang-orang besar yang pro Aceh dan dengan dukungan sebagian dari raja-raja Urung Batak (a.l. Senembah), lalu wilayah Serdang memerdekakan diri dan membentuk kerajaan tersendiri dalam tahun 1723 M, dimana Tuanku Umar yang menjadi raja yang pertama. Adiknya Tuanku Tawar beserta wilayah Denai dan serbajadi juga bergabung didalam kerajaan Serdang. Ibukota Serdang yang pertama adalah di Kampung Besar (sekarang masuk Kecamatan Batangkuwis). Putera dari Tuanku Umar yang tertua, yaitu Tuanku Ainan Johan, menjai raja Serdang ke-2 meluaskan wilayah Serdang sampai ke Hulu (wilayah Batak Timur/Simalungun), juga ke wilayah Padang dan Bedagai dan Percut. Bahkan puteranya yang tertua Tuanku Zainal Abidin, tewas di Pungsi (dekat kota Binjai) karena membantu salah satu pihak didalam perang saudara di Langkat.
Ketika Tuanku Johan mangkat, lalu digantikan oleh puteranya no.2, SULTAN THAF SINAR BASYARSYAH. Ia mendapat gelar “Sultan” dari Siak, yang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pada awal abad ke-18 itu. Dia inilah yang ditemui oleh utusan Inggeris, JOHN ANDERSON, ketika melawat ke wilayah kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pada tahun 1823.
Didalam masa pemerintahannya, deli berada didalam keadaan kacau, tetapi Serdang makmur karena perdagangan dan export (terutama lada) ke pos Inggeris di Penang dan Malaka (VOC). Tentu saja persaingan didalam dagang timbul antara Belanda dan Inggeris. Untuk menghindarkan clash-clash selanjutnya yang merugikan maka Belanda dan Inggeris bersepakat membuat Traktat London 1824 dimana diadakan pembahagian wilayah garapan masing-masing dengan antara lain memecah Sumatera dengan Malaya (terpecahnya wilayah Imperium Malayu Riau-Johor), dan menghormati kemerdekaan Aceh. Tetapi meskipun ada Traktat tadi, karena keuntungan-keuntungan ekonomi, masing-masing pihak diam-diam terus melanjutkan kegiatan-kegiatan mereka sebelumnya. Inggeris membisikkan kepada Aceh tentang digerogotinya sedikit demi sedikit wilayah-wilayah jajahan Aceh di Sumatera Timur oleh Belanda dengan mempergunakan Siak sebagai tameng.
Didalam tahun 1854, Aceh mengirimkan pasukan-pasukan dengan perahu-perahu perang dan menduduki Deli, Langkat dan Serdang. Masa itu Serdang diperintah oleh Putera Sultan Sinar, yang bernama SULTAN BASYARUDDIN SYAIFUL ALAM dan Sultan Aceh memberinya gelar “Wazir Sultan Aceh”.
Didalam tahun 1858 Belanda membuat Kontrak Politik dengan Siak, dimana dinyatakan Siak beserta “jajahan-jajahannya” di Sumatera Timur takluk kepada Belanda, dan Siak memohon bantuan Belanda untuk memulihkan “jajahan-jajahan” itu yang sudah digerogoti Aceh. Atas dasar inilah Belanda mengirimkan pasukan dalam 7 kapal perang besar dalam tahun 1865 yang dipimpin oleh residen Riau, E.Netscher, untuk menaklukkan Serdang, Asahan, Batubara dan Tamiang yang membangkang.
Sebagai hukuman atas perlawanan Serdang, maka oleh Belanda beberapa wilayah-wilayah Serdang dicopot seperti : Denai, Padang, Bedagai, Percut (Denai dikembalikan ke Serdang dalam tahun 1884).