Minggu, 21 Januari 2018

LAHIRNYA KESULTANAN SERDANG - Bagian I



  Ketika Kerajaan purba yang bernama H A R U, yang meliputi wilayah dari Tamiang (sekarang masuk Kabupaten Aceh Timur) sampai Rokan (sekarang masuk Propinsi Riau), dihancurkan untuk penghabisan kalinya oleh Aceh (Sultan Iskandar Muda) di tahun 1612, didudukkanlah disana sebagai Wali Negara oleh Sultan Aceh, salah seorang Panglima perangnya bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan gelar Laksamana Kuda Bintan.
Tempat yang baru itu dinamakan “DELI” (Batu Jergok – Deli Tua sekarang). Tugasnya oleh Aceh yang dibebankan ialah :
(1) Menghempang pengaruh-pengaruh anti Aceh di wilayah ex-Haru itu (Portugis, Belanda, Johor, dll).
(2) Mengembangkan Agama Islam dikalangan penduduk-penduduk Batak di pedalaman.
Gocah Pahlawan kawin dengan NANG BALUAN, puteri dari Raja Urung Sunggal/Serbenyaman merga Surbakti, raja Karo yang terkuat disekitar Deli masa itu. Dengan Islamnya Kepala-kepala Urung asal Karo di Sunggal, Dua Belas Kuta/Hamparan Perak (merga Sembiring), Urung Sukapiring (merga Sembiring) dan Senembah (merga Baros), maka terbentuklah Konfederasi Deli dimana Gocah Pahlawan (wakil Aceh) sebagai Primus Inter Pares keluar sebagai “Anak Beru” dari Sunggal, Gocah Pahlawan memperoleh wilayah kecil dipantai Deli sampai Percut sekarang ini, sebagai hadiah kawin. Di zaman pemerintahan putera dari Gocah Pahlawan, bernama PANGLIMA PERUNGGIT, situasi politik di Aceh makin kacau. Aceh diperintah oleh Ratu-ratu (Raja-raja perempuan) yang menjadi boneka para Orang-orang Besar/Uleebalang, sehingga menjadi lemah. Ketika Kepala-kepala Negeri di pesisir Minangkabau atas hasutan Belanda melepaskan diri dari bertuan ke Aceh, maka didalam tahun 1699 Panglima Deli Perunggit juga memproklamirkan kemerdekaan Deli.
Ketika didalam masa pemerintahan Panglima Deli Paderap (Putera dari Perunggit) pada awal abad ke-18, Deli ditaklukkan oleh Imperius Melayu Riau-Johor, semasa Raja Kecil dari Siak (Sultan Abduljalil) merebut tahta Johor itu. Panglima Pederap meninggalkan 4 orang putera-putera yaitu :
(1) Tuanku Jalaluddin gelar Kejeruan Metar (turunan Mabar-Percut);
(2) Tuanku Gandar Wahid gelar Sutan Panglima (turunan raja-raja Deli);
(3) Tuanku Umar gelar Kejeruan Junjungan (turunan raja-raja Serdang);
(4) Tuanku Tawar gelar Kejeruan Santun (turunan bangsawan-bangsawan Denai dan serbajadi).
Ketika Panglima Paderap meninggal (± 1720), terjadilah perang saudara di Deli. Gandar wahid (putera no.2) dengan bantuan Siak meng-coup abangnya Jalaluddin dan merebut tahta Deli, padahal menurut adat Melayu yang berhak jadi raja di Deli ialah putera no.3, Tuanku Umar, karena ia putera gahara (permaisuri) dimana ibunya adalah Tuanku Puan Sampali. Dengan fraksi dan orang-orang besar yang pro Aceh dan dengan dukungan sebagian dari raja-raja Urung Batak (a.l. Senembah), lalu wilayah Serdang memerdekakan diri dan membentuk kerajaan tersendiri dalam tahun 1723 M, dimana Tuanku Umar yang menjadi raja yang pertama. Adiknya Tuanku Tawar beserta wilayah Denai dan serbajadi juga bergabung didalam kerajaan Serdang. Ibukota Serdang yang pertama adalah di Kampung Besar (sekarang masuk Kecamatan Batangkuwis). Putera dari Tuanku Umar yang tertua, yaitu Tuanku Ainan Johan, menjai raja Serdang ke-2 meluaskan wilayah Serdang sampai ke Hulu (wilayah Batak Timur/Simalungun), juga ke wilayah Padang dan Bedagai dan Percut. Bahkan puteranya yang tertua Tuanku Zainal Abidin, tewas di Pungsi (dekat kota Binjai) karena membantu salah satu pihak didalam perang saudara di Langkat.
Ketika Tuanku Johan mangkat, lalu digantikan oleh puteranya no.2, SULTAN THAF SINAR BASYARSYAH. Ia mendapat gelar “Sultan” dari Siak, yang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pada awal abad ke-18 itu. Dia inilah yang ditemui oleh utusan Inggeris, JOHN ANDERSON, ketika melawat ke wilayah kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pada tahun 1823.
Didalam masa pemerintahannya, deli berada didalam keadaan kacau, tetapi Serdang makmur karena perdagangan dan export (terutama lada) ke pos Inggeris di Penang dan Malaka (VOC). Tentu saja persaingan didalam dagang timbul antara Belanda dan Inggeris. Untuk menghindarkan clash-clash selanjutnya yang merugikan maka Belanda dan Inggeris bersepakat membuat Traktat London 1824 dimana diadakan pembahagian wilayah garapan masing-masing dengan antara lain memecah Sumatera dengan Malaya (terpecahnya wilayah Imperium Malayu Riau-Johor), dan menghormati kemerdekaan Aceh. Tetapi meskipun ada Traktat tadi, karena keuntungan-keuntungan ekonomi, masing-masing pihak diam-diam terus melanjutkan kegiatan-kegiatan mereka sebelumnya. Inggeris membisikkan kepada Aceh tentang digerogotinya sedikit demi sedikit wilayah-wilayah jajahan Aceh di Sumatera Timur oleh Belanda dengan mempergunakan Siak sebagai tameng.
Didalam tahun 1854, Aceh mengirimkan pasukan-pasukan dengan perahu-perahu perang dan menduduki Deli, Langkat dan Serdang. Masa itu Serdang diperintah oleh Putera Sultan Sinar, yang bernama SULTAN BASYARUDDIN SYAIFUL ALAM dan Sultan Aceh memberinya gelar “Wazir Sultan Aceh”.
Didalam tahun 1858 Belanda membuat Kontrak Politik dengan Siak, dimana dinyatakan Siak beserta “jajahan-jajahannya” di Sumatera Timur takluk kepada Belanda, dan Siak memohon bantuan Belanda untuk memulihkan “jajahan-jajahan” itu yang sudah digerogoti Aceh. Atas dasar inilah Belanda mengirimkan pasukan dalam 7 kapal perang besar dalam tahun 1865 yang dipimpin oleh residen Riau, E.Netscher, untuk menaklukkan Serdang, Asahan, Batubara dan Tamiang yang membangkang.
Sebagai hukuman atas perlawanan Serdang, maka oleh Belanda beberapa wilayah-wilayah Serdang dicopot seperti : Denai, Padang, Bedagai, Percut (Denai dikembalikan ke Serdang dalam tahun 1884).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar